Monday, October 20, 2014

GUA PATTA : Desa Samangki, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan - Indonesia

Sejak Sabtu, ajakan Arnold di WA ke Gua Petta, mengundang kontroversi hati (istilah vicky) karena di saat yang sama ada beberapa acara yang mengakibatkan hampir semua anggota PINTAS berhalangan untuk berpartisipasi. Tapi tekadnya sudah bulat sehingga beberapa orang yang lowong seperti saya, Patrick, Matu, Melki, dan Kiki saja yang bisa ikutan.

Aku bangun kira-kira pukul 07 pagi. Lebih siang dari biasanya. Makan pagi, siapin hardware seminimum mungkin mengingat kita akan masuk gua yang penuh dengan bebatuan dan air. Nggak mandi, hanya sikat gigi dan cuci muka, semprot parfum banyak, dan go. Tetapi gegara parfum itu Patrik sempat bilang ke aku, "Bro, kau harum sekali kayak pengidap homo akut." ^__^. Manusia ini memang kalo nyela bikin ngilu 'matahari'.

Perjalanan ke lokasi ini benar-benar amazing. Setelah  mengendarai motor selama lebih dari sejam, kami masih harus berjalan kaki sejauh 2 km (mungkin). Tak ada petunjuk sehingga nggak ada jaminan buat nggak tersesat dan pulang. Selain itu jalurnya kebanyakan mendaki. Jantung harus benar-benar kuat, tegar dan stamina harus benar-benar oke. Panas yang begitu terik juga membuat stamina saya cepat banget drop.


Bersiap-siap menuruni gua dengan memasang perlengkapan dengan benar. Hanya Matu yang mau turun tanpa baju. Tapi, menurut pengakuannya sendiri, dia terlihat manis dengan model seperti itu. Makanya sekarang dia dipanggil, "Cowok Manis" (Berasa aneh-gak-normal!). Padahal dengan penampilan kayak gitu dia mirip manusia gua zaman primitif-kanibalis.

Berpose cantipp sebelum masuk gua. Aku, Arnold, Kiki, dan Patrik. Matu yang motret sementara Melki sudah duluan menuruni gua. Dari wajahku sudah terlihat jelas kalo aku sebenarnya nggak berniat untuk turun setelah melihat medan yang akan dilewati. Tetapi karena di sekitar banyak sekali monyet, dan sempat bertemu babi-hutan-betina dengan segerombolan anak-anaknya yang unyu-unyu. Maka aku terpaksa memutuskan untuk turun juga. Kalo nggak turun, bisa bahaya, bro. Ada kemungkinan diperchaos sama monyet atau dianiaya sama babi-hutan-betina-beranak. Babi hutan kalo punya babies, pasti agresip to the max.
Eki dalam gambar ini hanya nampak seperti titik oranye saking besarnya gua ini. Menuruni gua keren ini nggak boleh bersamaan mengingat struktur batu yang mudah sekali runtuh sehingga dapat membahayakan orang di bawah kita. Kan 'gak lucu kalo baru di awal-awal kepala teman seperjalanan sudah berdarah-darah terkena batu cadas nan tajam gegara kita nggak hati-hati. Maka, setelah orang pertama sampai di titik aman, baru disusul sama orang ke dua. Nah, kalo kamu sendiri yang terguling itu baru masalah besar. Apalagi yang bodinya seukuran kuda nil. #ngelirikpatrik.

Setelah Patrik, aku bersiap-siap menuruninya dengan semangat abal-abal. Disusul Kiki, Arnold, dan terakhir Matuh. Akan tetapi, semakin ke dalam, adreanalinku rasanya semakin terpacu. Rasanya seperti ada sesuatu dalam darah yang terlalu bersemangat untuk meneruskan petualangan di tempat yang semakin gelap dan penuh dengan kejutan seperti bertemu jangkrik besar, laba-laba raksasa, kalajengking marah, massapi (belut) pemalu, dan makhluk-makhluk kegelapan lainnya.



Matuh memotret mulut gua dengan menggunakan kamera GoPro-nya. Tapi sayang ketika sampai di daerah yang gelap kameranya nggak berfungsi dengan baik karena gak punya flash. Ini mungkin bisa jadi masukan bagi produsen GoPro.

Perlahan-lahan aku menuruni gua yang curam dan dengan hati-hati berpijak di atas bebatuan yang tidak stabil dan licin. Meskipun pake sendal gunung tapi tidak menjamin kalo nggak akan tergelincir dan ta'bulinta sampai remuk.

Patrik baru mau memasang headlamp barunya biar dia bisa kelihatan keren. Suhu dalam gua nggak sama seperti di luar. Di sini dinginnya kayak di ruang ber-AC. Pokoknya semakin ke dalam semakin dingin. Tapi ada juga perasaan takut bernafas karena nggak yakin kalo udara dalam gua aman untuk dipakai bernafas.

Headlamp mulai menampakkan fungsinya. Bintik-bintik putih yang merusak gambar ini bukanlah efek kamera atau badai salju tetapi titik-titik air yang terlihat seperti kabut di dalam gua.

Arnold lagi masang webing untuk safety. Agak lama sih nunggunya makanya aku sempat motret beberapa pemandangan alam di sini cuma karena hasilnya nggak maksimal, gak jadi aku upload. Pokoknya hasilnya menjijikkan.

Setelah itu dia mulai menyusuri dinding gua dengan hati-hati karena daerah di belakangnya itu adalah jurang yang kalo orang jatuh bisa patah 10. Di seberang dia menambatkan tali itu sehingga kami semua bisa melaluinya dengan aman. Dia memang heronya perjalanan ini.

"Extrim, Sistah??" Tanya Matu. Kiki menuruni bebatuan ini dengan hati-hati karena sepatunya nggak terlalu cocok untuk medan. Bukan karena licin tapi karna dia sayang sama sepatu sendalnya itu. Memang sih, dia nggak terlalu siap dengan medan seperti ini karena informasi yang disampaikan Patrik kepadanya nggak maksimal. Makanya sepanjang perjalanan dia terus menyalahkan Patrik.

Akhirnya bertemu aliran sungai dalam gua. Tahap perjalanan berikutnya. Airnya benar-benar dingin tetapi segar banget.

Matuh lagi setting kamera GoPronya sambil menyesuaikan suhu tubuh dengan suhu air.

Berpose dulu sebelum sama-sama nyebur ke air yang ternyata dingin banget. Tulang belakang langsung ngilu kayak diserang hypothermia.

Seekor kuda nil nampak mengikuti dari belakang. Ngerinya miiiii!!

Keren sekali nampaknya bro Matuh. Btw, begitu keluar dari air,  tubuh kita langsung mengeluarkan uap.

Menyusuri sungai bawah tanah sambil berpegangan pada dinding gua biar aman.

Kedua orang ini benar-benar menikmati perjalanan. Sepertinya mereka bahagia sekali menjadi manusia gua.

Arnold, lagi selfie. Keren mentong ini bro satu.





Eki memberi tanda pada Patrik kalo sekarang dia berpijak di atas karang: "Awas kaki, Bro."

Setelah melewati sungai, kami harus melewati bebatuan dan turun ke level gua berikutnya. Di sini kadang-kadang kita mendengar air mengalir di atas kita.



Ketemu sungai bawah tanah lagi.

Kaki nggak sampai ke dasar. Makanya saya menggunakan life-jacket. Dengan alat ini kita bisa lebih tenang memilih jalur yang aman karena bila dengan berenang biasa, kaki kita bisa menghantam batu karang yang tak terlihat karena penerangan yang minim. Selain itu, alat ini juga menjadi penolong bila kita mengalami kram otot akibat kelelahan, melakukan gerakan ekstrim, dan suhu dingin.
Mengamati indahnya bawah tanah.
Matuh dan bayangannya


Mencari jalan terbaik ....


Ini nggak lagi manjat tapi lagi merayap di antara celah-celah yang sempit mencari jalan keluar. Di tempat ini, hampir semua bagian tubuhku lecet.

Lelaki besar ini hampir tak bisa melanjutkan perjalanan karena tersangkut. Tapi syukurlah karena kesaktiannya yang luar biasa dia bisa melewati segala halangan dan rintangan yang menghadang karena dia adalah sang Kuda Nil.
Berpose setelah menemui kebuntuan dan bersiap-siap untuk kembali ke dunia atas. Sebuah dunia yang dipenuhi kepenatan dan polusi. Dunia yang penuh dengan signal hp.







*******

And this is me, the author and the photographer:





 Thanx to:

  1. Keluarga besar Komunitas Pencinta Alam - Pintas.
  2. Member of Group : Ignatius Matuh, Melky Meko, Arnoldus, dan Patrick Wulaa Petrus.
  3. The participant: Kiki.




Saturday, October 11, 2014

LAYAR PUTIH (Kelurahan Barombong, Kecamatan Tamalate, Kota Makassar)

Tanjung Layar Putih adalah salah satu spot yang sering dikunjungi oleh orang-orang yang pengen menikmati sunset dengan pandangan bebas ke laut tanpa perlu menyeberang ke pulau. Udara lautnya yang lumayan bersih dari polutan dan pemandangan sekitar pertemuan sungai jeneberang yang sebenarnya keren membuat tempat ini lumayan berguna untuk membasuh jiwa yang penat.
Sayang sekali oknum yang eksis di tempat itu nggak keren banget. Gubuk-gubuk liar yang dibangun seadanya (konon gubuk ini khusus disewakan untuk manusia-manusia mesum) dan sampah-sampah yang bertebaran di mana-mana membuat tempat ini kehilangan aura cantiknya. Retribusi di tempat itu juga nggak keren. Bayangkan, untuk masuk ke sana saja kita harus membayar 5000 perak. Trus, parkirnya Rp. 2000/motor. So, kita kudu nyiapin duit sebesar 7000 rupiah kalo mau menikmati sunset.

Saya sebenarnya berharap oknum-oknum yang ngumpulin (atau malak?) duit sebesar itu juga untuk berusaha merawat keindahannya. Di sisi lain, kepedulian para pengunjung yang datang juga penting, jangan pernah buang sampah di sana. Memang sih, di sana nggak terlihat fasilitas tempat sampah. Tapi bisa 'kan sampahnya dibungkus kembali dan dibuang di tempat sampah yang ada di sekitar Pantai Losari. Atau bawa pulang sekalian! Aku kok ngerasa kayak penyuluh kebersihan saja. Tapi sebagai orang yang tergabung dalam sebuah Komunitas Pencinta Alam, maka kewajiban moralku menuliskan ini.

Sodara-sodara sebangsa setanah aer, perjalananku ke sini diawali dengan ajakan Patrick Wulaa Petrus yang lagi suntuk di tempatnya ngantor. Melalui WA, diserukan kepada para TBR berkumpul di muara Sungai Jeneberang untuk menikmati sunset bulan Oktober yang hangat-hangat nikmat. Pemandangan menjelang akhir musim kemarau seperti mengingatkanku pada lukisan-lukisan musim gugur yang pernah kulihat dalam buku-buku keluaran Eropa.

Di tempat ini kami duduk memandang matahari besar di langit kemerahan dan Pulau Barrang Lompo di kejauhan sambil sesekali menikmati kopi dan snack. Agus, Elsa, Patrick, Markos, Matuh, dan Mardha asyik bercengkrama dan saling nyela. Sedangkan aku sudah pasti asyik dengan mata kamera. Gak lama berselang beberapa fotografer juga nampak ingin mengabadikan bola api raksasa yang perlahan-lahan mulai terbenam.


*******

Nah, foto-foto berikut merupakan penampakan Layar Putih dan pemandangan dari pulau ini:










*******

And this is me, the author and the photographer:







Thanx to:

  1. Keluarga besar Komunitas Pencinta Alam - Pintas.
  2. Member of Group : Agustinus Duma, Ignatius Matuh, Markos Y. Kahia, Katarina Elsa, dan Patrick Wulaa Petrus.
  3. The participant: Mardha.